
Berlangsung di STT SAAT Malang, Lokakarya Nasional 2025 PERSETIA dilaksanakan pada 10-14 Maret 2025. Mengawali kegiatan ini dengan ibadah pembukaan, Pdt. Irwan Pranoto, Ph.D., memberikan renungan melalui khotbah yang berjudul Hikmat Menghadapi Perubahan. Dihadiri 56 peserta, LokNas kali ini, memberikan fokus pada “Arah Kebijakan Pemerintah dalam Era Peralihan Menyongsong Indonesia Emas.”
Pemilihan tema ini, didasarkan pada situasi Indonesia yang, berada pada masa transisi. Pendidikan Teologi, dalam situasi tersebut—perlu untuk melihat kondisi, perubahan-perubahan yang ada, agar dapat menavigasi dan memberikan sumbang pikir yang kritis, bagi pengembangan dan keberlanjutan pendidikan serta pemikiran teologi di Indonesia. Secara lebih lengkap, berikut ini adalah tujuan-tujuan pelaksanaan Lokakarya Nasional.
- Mengenal Arah Strategi Kebijakan NKRI menuju Indonesia Emas tahun 2045.
- Memahami dan mendalami Kebijakan Pemerintah dalam bidang Pendidikan Tinggi (Teologi) di Indonesia dalam konteks peralihan pemerintahan.
- Menyepakati rencana strategi anggota PERSETIA dalam tanggung jawab atas kebijakan baru, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
- Meningkatkan sinergi antara sekolah anggota dan dengan pemerintah dalam mendukung pengembangan pendidikan tinggi teologi yang berkelanjutan.
Untuk mencapai hal-hal tersebut, maka PERSETIA, melalui Project Officer, Pdt. Tuhoni Telaumbanua dan Pdt. Dr. Desiana Naionggolah, Th.M., merancang kegiatan Lokakarya Nasional dengan menghadirkan beberapa narasumber. Prof. Dr. Slamet Wahyudi, S.T., M.T., selaku Dewan Eksekutif BAN-PT, dihadirkan untuk memberikan pemaparan mengenai Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Prof. Warsito, S.Si., DEA., Ph.D., Deputi Bidang Koordinasi Penguatan Karakter dan Jati Diri Bangsa, mengulas bagaimana peran Pendidikan Teologi dalam mencapai Indonesia Emas. Direktur Pendidikan Kristen Ditjen Bimas Kristen Kementerian Agama RI, Dr. Sudirman Simanihuruk, M.Th., mengurai peran langkah strategis, peluang, dan tantangan-tantangan yang muncul, bagi DBK maupun sekolah-sekolah teologi.
Pendidikan tinggi teologi menjadi strategis dalam menyongsong Indonesia Emas 2045. Demikian ungkapan Deputi Bidang Koordinasi Penguatan Karakter dan Jati Diri Bangsa, Prof. Warsito, S.Si., DEA., Ph.D., yang menyampaikan materinya melalui Zoom. Fokus utamanya adalah menciptakan SDM unggul yang sehat, cerdas, produktif, dan berkarakter, dengan religiusitas sebagai fondasi utama. Pendidikan harus menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan tren global untuk mengatasi tantangan seperti digitalisasi, otomatisasi, dan kesenjangan sosial.
Dalam pada itu, yang perlu dilakukan adalah mengintegrasikan nilai-nilai moral, religius, dan toleransi untuk memperkuat karakter bangsa. Lebih lanjut, Prof. Warsito, mengatakan juga perlu ada upaya dalam mendukung pembangunan SDM melalui pendidikan inklusif, inovasi teknologi pembelajaran, dan pengembangan infrastruktur. Memacu produktivitas riset yang relevan bagi masyarakat, dengan fokus pada kolaborasi universitas, industri, dan teknologi terapan–juga harus menjadi perhatian penting.
Selaras dengan yang disampaikan oleh Prof. Warsito, maka Pdt. Izak Y. M. Lattu, Ph.D., berbagi terkait action plan Indonesian Graduate Theological Union–program yang bertujuan untuk mempersiapkan para lulusan doktoral, yang menancap dalam konteks keindonesiaan, namun memiliki kecakapan di tataran internasional.
Pada kesempatan tersebut, turut hadir Dr. Sudirman Simanihuruk, M.Th: Direktur Pendidikan Kristen Bimas Kristen Kementerian Agama RI, memberikan pemaparan terkait tentang pentingnya pendidikan tinggi teologi. Ada beberapa hal yang menjadi sorotan utama, diantaranya: menghasilkan generasi emas bangsa yang berkualitas, inklusif, dan mampu berdampak positif bagi bangsa dan negara. Lalu, yang kedua, berkontribusi dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia khususnya bidang agama dan keagamaan Kristen.
Untuk bisa sampai pada tahap tersebut, menurut Bapak Simanihuruk, pendidikan tinggi perlu berfokus pada pengembangan kualitas akademik dan kompetensi lulusan. Dalam pada itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas dosen dan tenaga pengajar agar lebih kompeten. Sekolah-sekolah juga perlu menghadirkan layanan pendidikan yang bermutu, adaptif, dan relevan dengan perkembangan zaman serta kebutuhan masyarakat.
Prof. Dr. Slamet Wahyudi, S.T., M.T., selaku Dewan Eksekutif BAN-PT, menandaskan bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen meningkatkan mutu pendidikan tinggi melalui berbagai strategi, termasuk program-program seperti KIP, revitalisasi infrastruktur, digitalisasi pembelajaran, serta penguatan riset yang didukung beasiswa, transfer teknologi, dan hilirisasi hasil penelitian. Selain itu, fokus diberikan pada penyusunan sumber daya manusia yang berdaya saing global guna mencapai pembangunan manusia Indonesia yang maju, adil, dan harmonis di tahun 2045.
Akreditasi, berdasarkan UU No. 12 Tahun 2012 dan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 juga mendapat pembahasan serius dalam pemaparan Prof Slamet. Tujuannya adalah menentukan kelayakan perguruan tinggi dan program studi berbasis Standar Nasional Dikti, menjamin mutu pendidikan tinggi, serta menjaga legalitas gelar lulusan. Perubahan kebijakan akreditasi melibatkan pergeseran dari sembilan kriteria menjadi empat dimensi utama, yakni budaya mutu, relevansi, akuntabilitas, dan diferensiasi misi. Pendidikan tinggi kini lebih menekankan pada pendidikan berbasis hasil yang mencakup kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan kreativitas.
Dalam pemaparannya, Prof. Slamet juga membahas soal status akreditasi yang bisa diperpanjang melalui mekanisme automasi. Akreditasi, dalam pemamaparannya, dipantau atau diulang apabila terjadi penurunan mutu, dengan mengikuti regulasi yang berlaku. Kebijakan terbaru ini dirancang untuk mendorong inovasi, adaptasi terhadap kebutuhan masyarakat dan industri, serta memastikan keberlanjutan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.
Dalam kegiatan ini, peserta juga menanyakan beberapa pertanyaan yang penting. Salah satu pertanyaan, muncul dari keresahan dan perjuangan mengenai posisi pendidikan teologi selama ini. Pertanyaan dan kegelisahan tersebut dirangkum sebagai berikut.
Dalam berbagai wacana, persoalan moral sering disebut sebagai akar masalah bangsa—mulai dari korupsi, penyalahgunaan narkoba, hingga praktik manipulasi ekonomi. Namun, ironinya, pendidikan justru diarahkan pada pengembangan teknologi terapan dan kurikulum yang menyiapkan lulusan sebagai buruh siap pakai. Hal ini menciptakan ketimpangan antara kebutuhan akan pencerahan moral dan kebijakan yang lebih menitikberatkan pada ilmu terapan.
Pendidikan teologi yang berfokus pada nilai-nilai moral menghadapi tantangan besar dalam sistem akademik dan administrasi. Para dosen terpaksa mengikuti standar indeks jurnal yang lebih berorientasi pada penerapan praktis, bukan pada pemikiran filsafat yang lebih mendalam. Bahkan, gagasan sumbang pikir yang diusulkan oleh Asosiasi Filsafat Keilahian Indonesia hampir tidak mendapatkan tempat di dunia penelitian. Pemerintah lebih menekankan bidang ilmu terapan yang langsung dapat mendukung dunia kerja, sementara pendidikan moral seperti filsafat dan teologi mengalami kesulitan dalam mendapatkan dukungan administratif, termasuk dalam proses akreditasi dan pencatatan database pendidikan.
Pertanyaan tersebut, dijawab oleh Prof. Warsito. Sebagai pendiri sekolah tinggi keagamaan, Prof. Warsito memahami tantangan yang dihadapi para lulusan dalam mencari pekerjaan. Oleh karena itu, institusi yang dibangun menekankan empat kompetensi utama, dua di antaranya adalah entrepreneurship (kemampuan berusaha) dan pengalaman sosial. Dengan pendekatan ini, lulusan didorong untuk tidak hanya mengejar penghasilan tetapi juga mengembangkan kemandirian dan berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat.
Indikator keberhasilan dari pendekatan ini mencakup kemampuan lulusan dalam berinteraksi sosial, aktif dalam kegiatan komunitas, serta berperan dalam berbagai kepanitiaan yang mengasah keterampilan sosial mereka. Entrepreneurship juga menjadi kunci kemandirian, sehingga saat menjelang wisuda, sekitar 90% lulusan telah memiliki kinerja mandiri dan tidak bergantung pada pihak lain.
Pendidikan moral dan filsafat tetap memiliki peran penting dalam membangun karakter bangsa, meskipun belum mendapatkan tempat yang proporsional dalam kebijakan pendidikan nasional. Solusinya adalah mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam sistem pendidikan dengan pendekatan yang lebih pragmatis—menjadikan lulusan teologi tidak hanya sebagai pemikir, tetapi juga sebagai individu yang mandiri dan siap berkontribusi dalam kehidupan sosial.
Pendekatan berbasis nilai moral, seperti partisipasi aktif dalam komunitas sebelum lulus, menjadi langkah strategis untuk memastikan bahwa pencerahan moral tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga memiliki dampak nyata dalam kehidupan masyarakat.
Di akhir dari kegiatan Lokakarya Nasional ini, maka project officers dan seluruh peserta yang hadir, menyepakati beberapa poin-poin, yang akan menjadi tindak lanjut.
- memenuhi tuntutan peraturan dalam pengembangan pendidikan tinggi (dalam merespon dan memenuhi Permendikbudristek 53 Tahun 2023.
- Melakukan kajian tentang institusi yang lebih gesit, transformative, dan mampu menjawab tuntutan kebutuhan
- Pemutakhiran Kurikulum yang adaptative, transformative dan kontekstual.
- Penyiapan SDM yang mumpuni dengan memenuhi bahkan melampauhi standar DIKTI
- Berkolaborasi/bersinergi dengan serius dan konkrit antar anggota untuk saling menopang dan mendukung.
Kegiatan Lokakarya Nasional 2025, ditutup dengan ibadah. Peserta kembali ke sekolah masing-masing. Kiranya dengan LokNas 2025 yang sudah dilaksanakan, pendidikan dan pemikiran teologi di Indonesia–bisa terus berkembang, bertahan, dan menyuarakan suara-suara kritis terhadap situasi yang sedang terjadi di Indonesia.
Be the first to comment