
Pada tanggal 29 April 2025, PERSETIA mengadakan Pra Studi Institut. Dengan mengusung tema “Pastoral Care and Counseling in the Disruptive Era” kegiatan ini diawali dengan sambutan dari Ketua Umum PGI dan Ketua PERSETIA. Pdt. Jacklevyn Manuputty, M.A., Ketua Umum PGI, dalam sambutannya, menyambut baik kegiatan ini. Ia mengatakan bahwa era disrupsi, menantang dan mengguncang prespektif lama kita terkait waktu, ruang, diri, relasi sosial, dll. Simpul sosial mengalami sobebekan-sobekan. Dalam pada itu, ia menandaskan agar pendekatan pastoral, perlu juga perlu memberi jawab pada persoalan kolektif, dan memberi perhatian pada aktor-aktor penting seperti lembaga, keluarga, dan komunitas.

Pdt. Justitia Vox Dei Hattu, Th.D., dalam sambutannya, menekankan bahwa perlunya sinergi untuk menghadapi tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh gereja dan sekolah-sekolah teologi. Dalam pada itu, Studi Institut yang diperuntukkan bagi para dosen di tahun 2025 PERSETIA berkolaborasi dengan PGI, serta didukung oleh Mission-21. Untuk kali pertama dilaksanakanlah Pra Studi Institut. Puncak dari kegiatan ini, yakni Studi Institut yang pada 16-21 Juni 2025, akan dilaksanakan di STT Bala Keselamatan Palu.
Setelah acara ini dibuka, kegiatan yang berlangsung melalui Zoom ini, dilanjutkan dengan orientasi program, yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Donna Sampaleng.
Pra Studi Institut PERSETIA, menghadirkan dua pembicara. Pdt. Dr. John Campbell Nelson dan Pdt. Dr. Bambang Widjaja, Sekretaris Majelis Pertimbangan PGI.
Di sesi pertama yang bertajuk “Membaca Isu-isu Aktual dalam Ruang Pastoral: Tantangan dan Solusi untuk Konseling Kristen yang Kontekstual”, John Campbell-Nelson menandaskan bahwa, pastoral di era yang terdisrupsi ini menghadapi tantangan yang semakin kompleks, mengingat bahwa banyak tantangan-tantangan yang saling berkelindan.
Dalam pusaran perubahan ini, disrupsi menjadi sebuah realitas tak terelakkan. Empat faktor utama menurut Nelson yang mengguncang fondasi pelayanan pastoral, yakni mencakup dinamika tradisi dan modernitas, realitas buatan digital, spektrum gender, serta perubahan iklim.

Di antara tradisi dan modernitas, muncul kontras tajam antara masa lalu dan masa depan, antara menetap di tanah leluhur dengan urbanisasi, antara keterampilan lokal dengan dominasi teknologi, serta antara nilai-nilai komunal dan individualisme. Perubahan ini mengundang gereja untuk menyikapi dengan bijak, tanpa kehilangan nilai-nilai luhurnya yang mendalam.
Era digital, dengan segala keajaibannya, membawa kita ke menara Babel modern—di mana modal sosial menghilang dan lembaga kehilangan kepercayaan publik. Dunia virtual menjadi lebih menarik dibandingkan dunia nyata, namun juga menyisakan kesenjangan digital, manipulasi informasi, dan radikalisasi.
Spektrum gender menjadi semakin kompleks, menuntut pemahaman yang mendalam, sementara bumi kita merana akibat perubahan iklim. Kita dihadapkan pada pilihan besar: melihat diri kita sebagai umat yang diselamatkan dari dunia yang mati, atau sebagai bagian dari dunia yang sedang diselamatkan.
Sebagai respons, gereja dipanggil untuk menerapkan pastoral yang kolektif, investigatif, dan profetis—sebuah perjalanan iman yang bukan hanya berbicara kepada jiwa tetapi juga menyentuh keberlanjutan semesta.
Di sesi yang kedua, Pdt. Dr. Bambang Widjaja memberikan pemaparan terkait “Transformasi Pelayanan Pastoral: Inovasi dan Pendekatan Holistik dalam Menjawab Kebutuhan Masyarakat Indonesia” yang juga berdasarkan sudut pandang dan pergumulan Persektuan Gereja-Gereja di Indonesia di masa sekarang.

Menurut Widjaja, gereja-gereja di Indonesia menghadapi berbagai krisis, yang disebut sebagai Polycrisis—baik dalam aspek keesaan, kebangsaan, ekologi, keluarga, pendidikan, maupun tantangan budaya digital—yang menuntut pelayanan pastoral dituntut untuk lebih inovatif dan holistik.
Gereja harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, tidak hanya dalam bentuk pelayanan konvensional tetapi juga dengan strategi yang lebih luas dan dinamis. Demi memastikan arah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan umat, penyusunan Dokumen Keesaan Gereja (DKG) melibatkan berbagai tahapan penting, seperti Rakernas PGIW, Konferensi, Sidang MPL PGI, Studi Pendalaman, hingga Sidang Raya PGI XVIII, yang menjadi forum diskusi strategis bagi para pemimpin gereja.
Dari upaya-upaya yang disebut sebelumnya, maka diperoleh langkah-langkah berikut. Pertama, pastoral harus mampu mendata, mengkaji, dan mengembangkan potensi serta kapabilitasnya agar senantiasa relevan bagi umat. Kedua, jejaring oikoumenis lokal perlu diperkuat, membuka ruang bagi dialog dan kerja sama yang menghidupkan semangat kebersamaan. Ketiga, membangun kesadaran politik warga menjadi langkah esensial, agar iman tidak hanya berdiam di dalam tembok gereja, tetapi turut membentuk dunia dengan nilai-nilai yang berkeadilan.
Lebih lanjut, Widjaja menandaskan bahwa pelayanan pastoral pun harus merangkul tuntutan era digital dengan mengembangkan literasi serta kecakapan teknologi bagi jemaat, memastikan bahwa mereka mampu berjalan seiring dengan kemajuan zaman tanpa kehilangan akar spiritualnya. Lebih dari itu, gereja mesti menjadi penjaga harmoni, memperkuat fondasi keluarga, mendorong pendidikan yang berwawasan luas, serta memelihara kesadaran ekologis yang mencakup keseimbangan hijau dan biru—memahami bahwa bumi bukan sekadar tempat berpijak, tetapi rumah yang harus dirawat dengan kebijaksanaan. Semua ini berakar pada spiritualitas keugaharian, suatu panggilan untuk hidup sederhana namun penuh makna, membiarkan cahaya iman tidak hanya bersinar dalam peribadatan, tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam kesempatan tersebut, Widjaja juga menyinggung terkait bonus demografi. Dalam menghadapi bonus demografi, gereja perlu menyadari perubahan ekonomi dan budaya yang mempengaruhi generasi milenial. Fenomena penurunan jumlah pernikahan serta meningkatnya angka individu muda yang belum menikah menunjukkan adanya pergeseran dalam cara pandang mereka terhadap kehidupan. Gereja, sebagai wadah spiritual dan sosial, harus mampu merespons perubahan ini dengan pendekatan yang lebih relevan dan inklusif. Salah satu prinsip penting dalam pelayanan adalah Ecclesia Semper Reformanda Est—bahwa gereja harus selalu diperbarui, terus bertransformasi, dan tidak menutup diri terhadap disrupsi yang pada dasarnya tidak selalu negatif.
Dalam menarik generasi milenial, gereja harus bisa melibatkan mereka secara aktif, memahami karakter dan kebutuhan mereka, serta membangun relasi yang hangat. Memberikan prioritas kepada mereka bukan hanya sekadar strategi, tetapi sebuah langkah esensial dalam menjaga keberlanjutan kehidupan bergereja.
Mendekati penghujung pemaparannya, Widjaja juga memberi penekanan pada asumsi-asumsi keliru yang perlu ditanggalkan. Asumsi-asumsi keliru tentang masa depan gereja yakni; harapan bahwa metode lama yang pernah berhasil masih tetap relevan, fokus yang berlebihan pada gedung gereja, serta pengabaian terhadap pelayanan online. Selain itu, anggapan bahwa masa depan gereja bersifat linier dan bahwa usaha keras saja sudah cukup, merupakan pandangan yang perlu dikaji ulang. Gereja harus siap beradaptasi dan mengeksplorasi pendekatan baru untuk memastikan keterlibatan umat dalam kehidupan beriman yang lebih dinamis dan bermakna.
Dengan kesadaran akan perubahan zaman dan strategi yang tepat, gereja dapat terus menjadi tempat yang relevan bagi semua generasi, memperkuat kebersamaan, dan menjadi sumber terang bagi dunia yang terus berkembang.
Kegiatan yang juga diikuti 150 lebih peserta ini, juga memberikan kesempatan interaksi kepada peserta untuk bertanya dan berdiskusi. Dari kegiatan ini, diperoleh rekomendasi-rekomendasi berikut. Gereja harus membangun pelayanan konseling pastoral profesional yang berbasis empati, keterampilan mendengarkan aktif (active listening), dan intervensi konseling yang kontekstual terhadap krisis keluarga, identitas diri, krisis iman, dan masalah mental jemaat.

Pastoral konseling juga harus membuka percakapan tentang trauma sosial, ketidakadilan struktural, dan kehancuran ekologi sebagai bagian dari pemulihan jiwa. Konselor pastoral perlu menjadi suara kenabian yang membela keutuhan ciptaan dan keadilan sosial, bukan hanya membahas dosa-dosa privat.
Be the first to comment