Pendampingan Penerapan Satuan Tugas dan SOP PPKS

Di tengah upaya-upaya memajukan pendidikan di Indonesia, ada sebuah hal penting yang tidak bisa diabaikan oleh institusi pendidikan—pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Kisah tentang mereka yang menjadi korban kekerasan seksual, hari-hari ini banyak diberitakan. Namun, sebagian dari mereka yang sintas, terperangkap dalam sunyi tanpa pendampingan atau keadilan yang sesungguhnya.

Institusi pendidikan, seharusnya menjadi ruang aman bagi pertumbuhan intelektual dan karakter. Namun, kekeresan seksual, juga terjadi di ruang-ruang tersebut. Menyadari kemendesakan ini, didasarkan pada  Peraturan Menteri Agama No. 73 2022 dan Permendikbud No.55 tahun 2024,  PERSETIA dan PERUATI, mendorong sekolah-sekolah tinggi teologi anggota dan calon anggota, untuk merumuskan pedoman yang melindungi setiap orang dari kekerasan seksual, hingga pada bagaimana cara menangani serta proses pendampingan.

Sebuah standar operasional prosedur (SOP) yang bukan sekadar menjadi aturan, diharapkan menjadi sebuah pedoman yang melindungi hak-hak semua orang yang terkait dengan sekolah-sekolah teologi. SOP juga menjadi petunjuk dalam penanganan, ketika terjadi kekerasan seksual. Itulah output yang hendak dicapai dalam kegiatan ini. Bahkan secara lebih jauh, muncul pembahasan agar semua orang merasa aman, terhindar dari kekerasan langsung, cultural, maupun structural.

Kegiatan yang lahir dari kolaborasi antara PERSETIA dan PERUATI ini,  juga bertujuan untuk membangun kesadaran dan mendorong implementasi satuan tugas yang bertanggung jawab atas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual—khususnya di sekolah-sekolah teologi. Kebijakan yang bagus dan kokoh, juga mengharuskan penangan yang baik dari orang-orangnya.

Melalui pertemuan via Zoom yang mempertemukan akademisi, aktivis, dan praktisi, tercipta ruang diskusi yang mengupas tuntas urgensi kebijakan ini, sekaligus mengevaluasi sistem yang telah berjalan dan merancang strategi lebih kuat untuk masa depan.

Veryanto Sihotang, dengan ketajaman analisisnya dan pengalaman kerja-kerja kemanusiaan dan pendampingannya, membuka mata peserta akan urgensi penerapan SOP dan satgas PPKS, berpijak pada data dan kebijakan yang kerap diabaikan.

Pdt. Leonard Bayu Laksono, dalam sesi “berbagi pengalaman,” merinci mekanisme pelaporan yang tak hanya prosedural tetapi juga humanis, memastikan korban tidak lagi berjalan sendirian dalam mencari keadilan. Sementara itu, Pdt. Obertina Johanis membawakan satu unsur penting lain dalam perjuangan ini—pendampingan korban yang bukan sekadar aspek hukum, melainkan juga ruang pemulihan bagi mereka yang terluka.

Diskusi terjadi di setiap kelompok-kelompok, membentuk kerangka yang tidak hanya berbicara dalam tataran regulasi, tetapi juga diharapkan menyentuh nurani setiap peserta, yang dalam kegiatan ini berjumlah 65 orang.

Di penghujung kegiatan ini, langkah-langkah konkret mulai dirancang, bukan hanya sebagai respons terhadap isu yang ada, tetapi sebagai janji bahwa kampus-kampus teologi tidak akan lagi membiarkan jeritan korban tenggelam dalam sunyi.

Dengan harapan besar akan perubahan, PERSETIA dan PERUATI bersama-sama bersepakat bahwa kegiatan ini bukan sekadar langkah administratif, tetapi sebuah panggilan nurani untuk membangun dunia pendidikan yang lebih adil dan bermartabat. Menjadikan sekolah-sekolah teologi menjadi ruang aman bagi siapa saja.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*