Konsultasi ini berlangsung di Wisma Samadi Klender, Jakarta Timur 15-20 April 2013. Temanya adalah “Peran Pendidikan Teologi untuk Pendamaian dalam Masyarakat dan Bangsa”. Bertindak sebagai host adalah Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Indonesia (STTRII), Jakarta. Dibuka dengan Ibadah dan Sambutan oleh Ketua STT RII Jakarta, Pdt. Yakub Susabda, Ph.D. dan Wakil Ketua I Pengurus Persetia, Pdt. Dr. J. Mojau. Kegiatan yang dihadiri oleh 73 orang pimpinan Sekolah Anggota/Calon Anggota, Gereja-gereja dan undangan lainnya itu telah membahas persoalan-persoalan yang menyangkut pendidikan teologi dengan arahan dari 3 (tiga) narasumber yaitu: Pdt. Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D., Pdt. Prof. E. Gerrit Singgih, Ph.D. dan Pdt. Tabita Kartika Christiani, Ph.D.
Prof. Aritonang dari STT Jakarta, membahas Peta Pendidikan Teologi Formal di Indonesia, dan Prof. Singgih dari UKDW mengulas tentang Lingkaran Teologi Praktis sebagai Model Berteologi Kontekstual di Indonesia. Dilanjutkan dengan presentasi dari Pdt. Tabita K. Christiani dari UKDW tentang Desain Kurikulum Pendidikan Teologi.
Pada kesempatan ini pula, Pdt. Yusak Soleiman, Ph.D. dari Persetia bersama Prof. Dr. Eddy
Kristiyanto, OFM., dari STF Driyarkara Jakarta, menjelaskan rumusan tentang sikap bersama terhadap UU No.12 Tahun 2012. Di samping itu Pdt. Dr. Sem Hakh, mewakili Tim yang dibentuk oleh Persetia
menjelaskan
rencana-rencana pembentukan
Lembaga Akreditasi Mandiri untuk lembaga-lembaga
pendidikan teologi Prostestan dan Katolik.
Pada hari pertama, 8 (delapan) Lembaga Pendidikan Teologi/Filsafat membahas pengalaman- pengalaman mereka masing-masing. Presentasi ini menyangkut filosofi pendidikan dan bagaimana kaitannya dengan konteks Indonesia serta penjabarannya dalam kurikulum. Juga dipaparkan hasil yang dicapai dan masalah-masalah yang dialami dan arah masa depan dalam. Lembaga-lembaga yang menyampaikan pengalamannya itu adalah : F. Teologi UKSW Salatiga, STT HKBP Pematang Siantar, STF Driyarkara Jakarta, Fakultas Pendidikan Teologi UK Atmajaya Jakarta, Institut Injil Indonesia, Batu-Malang, STT Bandung, STT RII Jakarta dan STT REM Jakarta.
Secara umum, Prof. Jan S. Aritonang mengantar peserta untuk melihat faktor pendorong berdirinya begitu banyak lembaga pendidikan teologi di Indonesia, sebagai satu realitas yang membawa harapan tetapi juga sekaligus menimbulkan permasalahan, terutama dari segi kwalitasnya.
Faktor pendorong utama adalah banyaknya gereja-gereja di Indonesia yang ingin mempersiapkan
sendiri tenaga pengerjanya untuk melayani dan memelihara doktrin dan tradisinya. Ada pula yang dengan alasan melayani kepentingan gereja-gereja non-denominasional ataupun inter-denominasional tanpa jelas teologi dan ajaran yang dikembangkannya. Di lain pihak semakin tingginya minat warga gereja untuk belajar teologi menyebabkan menjamurnya sekolah-sekolah teologi.
Prof. Aritonang juga memetakan persoalan corak teologi di Indonesia yang umumnya diwariskan dari Barat tanpa pengolahan yang matang. Hal itu terlihat dari model kurikulum pendidikan teologi kita yang mempertahankan ensklopedi teologi di Barat. Munculnya teologi kontektual yang bertolak dari konteks tidak secara otomatis dapat diterapkan dalam kurikulum kita karena adanya keanekaragaman teologi kontekstual itu sendiri. Keadaan kita menjadi lebih rumit lagi karena sebagian besar sekolah- seko lah kita tidak menganggap teologi itu sebagai ilmu tetapi sekedar “ngelmu”. Lebih lanjut dipetakan persoalan kedudukan Teologi di dalam dunia keilmuan dan Pendidikan Tinggi yang diciptakan oleh pemerintah dengan juga menyediakan 2 (dua) lembaga yang memayunginya sehingga menimbulkan kontradiksi. Terakhir diberikan arahan agar sekolah-sekolah teologi mengembangkan teologi sebagai ilmu, melanjutkan pengembangan teologi kontekstual, memperhatikan perkembangan pendidikan teologi di luar negeri, menertibkan diri dan meningkatkan mutu, meminta kejelasan sikap pemerintah terhadap dualism yang berkembang, mendorong gereja-gereja untuk ikut mengembangkan teologi sebagai ilmu, dan mendukung terbentuknya Lembaga Akreditasi Mandiri.
Dalam bahasannya, Prof. Gerrit Singgih menyatakan keragu-raguannya terhadap ensiklopedi tradisional. Pembagian seperti itu tidak dapat dipertahankan lagi terutama dalam menghadapi tantangan dari konteks Indonesia.Walau demikian, tidak mudah juga menyusun satu ensiklopedi baru. Ia belajar dari pengalamannya mengelola program S2 dengan mengubah secara total kurikulum yang bertolak dari ensiklopedi tradisional dengan 4 bidang, menjadi satu Program Kontekstual dengan pelbagai mata kuliah yang diberi nama yang jelas yang memperlihatkan pertemuan dengan ilmu-ilmu sosial budaya. Dalam uraiannya itu ia mulai dengan menjelaskan bagaimana proses Lingkaran Berteologi Kontekstual itu dengan sengaja dirancang sehingga wawasan mengenai lingkaran itu terjadi secara akademik, kemudian bagaimana lingkaran tersebut diterima di kalangan para teolog dan akhirnya bagaimana berteologi kontekstual itu diajarkan dengan menggunakan lingkaran tersebut. Yang dimaksud dengan lingkaran adalah garis aplikasi yaitu bila kita memikirkan hubungan antara pemikiran teologis dengan konteksnya maka kita sudah mulai membuat suatu garis aplikasi, yang tentu saja harus didukung oleh banyak faktor. Ia mengemukakan pemikirannya tentang Lingkaran Teologi Praktis sebagai model berteologi kontekstual di Indonesia. Proses ini dimulai dari Lingkaran Hermeneutis ke Metode Studi Kasus di satu pihak dan dari Lingkaran Pastoral ke Lingkaran Teologi Praktis di lain pihak. Kemudian ia memberikan pertimbangan dan kemungkinan untuk mulai dari Lingkaran Teologi Praktis ke Lingkaran Diskursif.
Pdt. Tabita K. Christiani, Ph.D., pakar Pendidikan Kristiani, menuntun peserta untuk mendesain kurikulum dengan mengangkat beberapa teori serta pendekatan-pendekatan desain lalu memberikan pertimbangan-pertimbangan tentang Kurikulum Pendidikan Teologi yang holistik. Dalam pertimbangannya ini Pdt. Tabita mensitir bahwa banyak lembaga pendidikan teologi di Indonesia memakai kurikulum yang berideologi “scholar academic”. Ideologi ini perlu dirubah bukan dengan menambahkan banyak latihan agar memenuhi harapan “social efficiency” gereja, sebab penambahan itu hanya akan merupakan upaya tambal-sulam yang dapat merusak bangunan kurikulum. Pilihan yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan ideologi-ideologi lain ke dalam bangunan ideologi kurikulum “scholar academic”. Jadi yang akademis menjadi empiris karena langsung diterapkan dan dievaluasi sebab ada hubungan dialogis antara dunia akademis dengan dunia praktis-operatif sehingga bersama melakukan praxis. Dengan begitu teologi bukan di awang-awang, namun bukan juga sekedar mengikuti trend atau keinginan gereja.
Umumnya kurikulum Pendidikan Teologi memiliki 3 (tiga) dimensi yaitu: academic, spiritual dan ministerial . Ketiganya perlu dikelola sedemikian rupa dalam satu keutuhan untuk menghasilkan apa yang menjadi tujuan. Tiga dimensi ini bila diterapkan dengan sungguh-sungguh maka Pendidikan Teologi kita tidak sekedar menciptakan “tukang” tetapi “desainer” yang mampu menghasilkan karya yang baru, berkwalitas, dan bermanfaat. Konsultasi ini menyadari kerumitan yang dihadapi, karena itu
perlu dibangun komunikasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan, di samping bekerja keras menata diri sebagai Lembaga Pendidikan yang mengembangkan Teologi sebagai satu Ilmu.
Be the first to comment